memandangmu penuh dengan berteteskan peluh membuatku luluh...
kau arungi tempa dari hari kehari untuk sekedar butiran-butiran nasi..
kadang kau berteduh dari apa yang meyakinimu, belas kasih pemberi..
namun kadang kau terlalu liar dengan segala nafsu binatang jalang menerjang..
kau bermimpi setiap pagi akan welas asih kami..
yang menjadi sumber sarat yang kental akan rezeki..
namun kadang kami terlalu lelah memandang, atau sekedar hilang akan pandang..
tak ibanya kau tetap menengadahkan tangan...
bukan lantas memohon ampunan Tuhan...
sekedar mengais dari apa yang telah diberikan..
dan tetap malu tak kan pernah datang menggenggam..
kau tak pernah menangis sesal...
akan semua hasil pemberian yang sudah tak kelihatan..
kami pun tak pernah mengulas ingatan..
akan seberapa kasih yang kami berikan...
lantas apakah kita, kau dan aku saling berkasih-kasihan?
melihatmu yang mengenaskan membuat kami iba...
dan kau pun menerimanya dengan riang gembira..
tak kan pernah kah kau kembali pada fitrahmu?
bahwa tangan diatas jauh lebih bermakana dari laku mu saat ini..
haru ku mengulas kisah hidupmu,
yang berikanku sebuah makna tentang apa itu memberi..
dan kau pun mungkin sepertiku, terberikan makna tentang apa itu menerima....
Jakarta, 23 September 2011
----Siti Aisyah----
Jumat, 23 September 2011
Kepadamu "Sang Masa Lalu"
detak detik melodikan irama haru,
tak ingatkah kala itu angin berhembus merdu..
menyanyikan nada not dan noktah yang mengalun sendu.
mata itu pernah telanjang memandangku..
melulu penuh dengan kata-kata rayu..
meski banyak kata memenuhi penuh, tetap diam membisu..
kini langkahmu undur jauh dang lekang.
tak lagi setia menungguku pulang saat petang..
tak kan lagi kita kan bertemu pandang..
karena jiwa rasa cinta telah hilang..
tenggelam bersama kenangan mata telanjang..
yang degupkan jantung hingga pagi menjelang..
pernahkah kau rasa?
aku mempunyai sejuta asa..
mungkin sulit kan raih jadi nyata..
lantaran dirimu yang cepat merubah segala...
yang ragu mengarungi samudera..
jua tak mampu menahan resah..
sekali lagi aku berdiri tegar..
tanpa pedulikan penatnya hingar bingar..
yang mencaciku penuh cecar..
karena putusanku yang tak semana besar..
tentang luka yang diciptakan oleh sebuah kata "Pacar"
lalu membuaiku untuk tetap sabar, sembari ku cari makna dalam kabar..
Jakarta, 23 September 2011
----Siti Aisyah----
tak ingatkah kala itu angin berhembus merdu..
menyanyikan nada not dan noktah yang mengalun sendu.
mata itu pernah telanjang memandangku..
melulu penuh dengan kata-kata rayu..
meski banyak kata memenuhi penuh, tetap diam membisu..
kini langkahmu undur jauh dang lekang.
tak lagi setia menungguku pulang saat petang..
tak kan lagi kita kan bertemu pandang..
karena jiwa rasa cinta telah hilang..
tenggelam bersama kenangan mata telanjang..
yang degupkan jantung hingga pagi menjelang..
pernahkah kau rasa?
aku mempunyai sejuta asa..
mungkin sulit kan raih jadi nyata..
lantaran dirimu yang cepat merubah segala...
yang ragu mengarungi samudera..
jua tak mampu menahan resah..
sekali lagi aku berdiri tegar..
tanpa pedulikan penatnya hingar bingar..
yang mencaciku penuh cecar..
karena putusanku yang tak semana besar..
tentang luka yang diciptakan oleh sebuah kata "Pacar"
lalu membuaiku untuk tetap sabar, sembari ku cari makna dalam kabar..
Jakarta, 23 September 2011
----Siti Aisyah----
Sabtu, 17 September 2011
Ayah
kau penguat langkahku.
dimana selalu kudengar runtun kata-kata penuh do'amu.
yang selimuti imanku yang tak sempurna tentu..
tanpa pernah sadar bahwa kini tiadalah kata selain terima kasihku yang tiada bertara.
kau memalingkan wajahku dari duka atas hilangmu.
kini aku setegar dahulu, saat kau pertama kali dengan bangga melihatku berdiri di usiaku yang dini.
Ayah, kau penguat rinduku pada-Nya.
tiada yang sia-sia dari kata-katamu dulu yang kurasa tak bermakna.
tak kan ku buatnya sirna.
segala cahaya iman yang kau tanam sejak saat aku membelah dunia dengan tangis pecah.
semua terpateri kuat sebagai pedoman dan pelita hidup.
meski hening terkadang tak bergeming, hikmahmu terus ku susuri.
perangai mu lembut ku kenang, senyummu indah ku ulas, amanatmu tegar ku emban..
meski tak pernah tiba lagi angin yang membawamu kembali,
meski tak kan datang lagi kabar tertulis goresan tanganmu,
aku tetap sebagai pendo'amu, titisanmu, darah dagingmu,
kuncimu untuk dengan cahaya bercengkerama dengan-Nya.
Ayah kau telah tanam semangatmu dalam jantung ini.
baktiku tak kan pernah cukup membayarnya...
membayar ribuan tetes atas keringat lelahmu,
juga atas tangis sedihmu. kala tak terlihat jalan untuk membuatku tumbuh..
Ayah, aku mencintaimu...
dimana selalu kudengar runtun kata-kata penuh do'amu.
yang selimuti imanku yang tak sempurna tentu..
tanpa pernah sadar bahwa kini tiadalah kata selain terima kasihku yang tiada bertara.
kau memalingkan wajahku dari duka atas hilangmu.
kini aku setegar dahulu, saat kau pertama kali dengan bangga melihatku berdiri di usiaku yang dini.
Ayah, kau penguat rinduku pada-Nya.
tiada yang sia-sia dari kata-katamu dulu yang kurasa tak bermakna.
tak kan ku buatnya sirna.
segala cahaya iman yang kau tanam sejak saat aku membelah dunia dengan tangis pecah.
semua terpateri kuat sebagai pedoman dan pelita hidup.
meski hening terkadang tak bergeming, hikmahmu terus ku susuri.
perangai mu lembut ku kenang, senyummu indah ku ulas, amanatmu tegar ku emban..
meski tak pernah tiba lagi angin yang membawamu kembali,
meski tak kan datang lagi kabar tertulis goresan tanganmu,
aku tetap sebagai pendo'amu, titisanmu, darah dagingmu,
kuncimu untuk dengan cahaya bercengkerama dengan-Nya.
Ayah kau telah tanam semangatmu dalam jantung ini.
baktiku tak kan pernah cukup membayarnya...
membayar ribuan tetes atas keringat lelahmu,
juga atas tangis sedihmu. kala tak terlihat jalan untuk membuatku tumbuh..
Ayah, aku mencintaimu...
Senin, 12 September 2011
My Dearest Uncle "Muhamad Yoni"
Teringat akan sosok lucu nan kocak lagi murah senyum "Paman Iyon." yah, paman, pastilah saudara lebih muda dari Ayah kandung. Memandangnya saat ia berkebun diladang membuatku tak ibanya berfikir : "ahh pamanku ini, tua tapi tidak keladi, tua tapi tidak renta, tua tapi tidak bersedih. Pun saat hidupnya tertakdir untuk sendiri." Ya, paman hanyalah sendiri tanpa istri. bukan karena ia tak laku ataupun tak mau. Tapi mungkin Allah berkehendak seperti itu. Mungkin karena Allah tahu bahwa hidupnya jauh lebih baik begitu. bukan Paman tak mencoba memperistri. tapi lagi gagal karena batasan materi. bukan pula ia letih mencari. tapi lagi sulit hilir mudik menghampiri.
Maklumlah, pengangguran tingkat tinggi. Pernah punya beberapa profesi, namun tak satu pun yang tetap mengaliri pundi. Masa jayanya dahulu mungkin terlalu manis mengukir. terlalu sulit untuk ku tepis bahwa dahulu ia memang hidup lebih. lebih tak terarah tepatnya. lebih kelam hitamnya. lebih jauh dari-Nya. lebih kepada dunia yang menduniawi. Asal tahu saja, bisa jadi dulu ia jawara.
tapi tidak untuk saat ini. tidak. maksudku tidak seperti saat aku memandangnya waktu sedang berladang dikebun. Tangan kekarnya luwes menanam benih-benih bayam organik yang lezatnya bukan main. Kakinya yang keras bak beton karet kuat menopang 2 panggul drum air untuk mengairi tumbuhannya. mungkin banyak yang bertanya curiga mencaci "Kemana muka hitam belang yang dulu main kejar-kejaran dengan perempuan?" kini tak ada lagi. jawara jadi santri. ialah dia Paman. bertekuk mukanya saat hadap dengan perempuan. Tangan lincahnya yang dulu mahir meracik brandy, kini jadi kalam yang rajin menjinjing Qur'an. Langkahnya yang seribu selalu untuk Masjid. rumah dari segala rumah yang ia tempati. Lalu tiap-tiap waktu shalat tepat, merdu suaranya terdengar temaram dari Masjid. ia seorang Mu'adzin tepatnya.
Ia tinggal bersama kami. bersama kakaknya yg nomor dua. Ayah kami tepatnya. seringkali ia coba balik ke ranah lahirnya, tapi kemudian kembali untuk tinggal lagi bersama kami. "Hanya kak didi yang bisa menjadi tempat saya mengikuti jejak,Mbak." kira-kira itu sepenggal kalimat yg kudengar saat ia bercengkrama dengan Ibuku. Sebegitu hormatnya ia terhadap kakaknya itu. bahkan untuk makan didepannya saja ia malu. sungguh Adik sekali dia itu...
"yeem bayyeemmmm!!!" begitu teriaknya pada tetangga sekitar saat ia berhasil panen bayamnya itu. ia letakkan satu nampan bayam yg sudah diikat kecil-kecil dan meletakkannya saja begitu didepan kebun.. tetangga yang ingin membeli tinggal ambil satu, atau dua atau semaunya. harga tidak pernah ia sebutkan. benaknya mungkin: dikasih lebih Alhamdulilah, kalau cukup ya Alhamdulilah. kurang pun tak apa-apa. toh apa yang dilakukan Lilahita'ala... tapi Alhamdulilah selalu berkah. Bayam selalu subur. juga rupa-rupa lainnya seperti singkong dan timun.. tanah lapang adalah surga baginya kini. tak lagi. kehidupan malam kota jakarta itu. semua sirna...
tapi bosan juga ia hanya numpang-numpang saja dirumah kakaknya itu. pergilah ia ke daerah Karawang untuk berladang dengan hektaran ladang perkebunan milik temannya. ada domba, bebek, ayam juga disana. pergi juga ia.. tapi tak sampai 5 bulan ia disana. "Tak ada Masjid disana." katanya. sebegitu rimba nya tempat ia bernaung dulu. akhirnya kembalilah bersama kami. dengan rutinitas yang sama. tapi semenjak kakaknya yakni Ayahku mangkat ke pangkuan-Nya, ia pisah rumah dari kami. lantaran tak ingin terjadi fitnah karena status Ibuku yang menjanda. tapi tetap cukup dekat untuk kami tetap bersua setiap hari.
Ia bekerja kini. serabutan dengan pemborong temannya. apapun kini ia lakukan asal halal. karena tak ingin hidupnya bergantung selalu pada ranting yg tak kuat menopangnya.
Setiap pagi sebelum subuh ia selalu segar dan sudah dalam keadaan bersuci. saat hendak berangkat ke Masjid tak lupa ia berhenti didepan jendela kamarku dan mengetuknya jahil " neek, subuh nek, solat solat." selalu begitu. "Yooooo.." begitu saja jawabku untuk memberitahunya bahwa aku terjaga.tak berapa lama kudengarlah suaranya itu lewat lorong-lorong Masjid. Merdu. bahkan kadang aku tak menyadari bahwa itu suaranya.
Suatu pagi ia hendak berangkat kerja bersama temannya mengendarai sepeda motor hitam tua. pagi itu ceria sekali wajahnya. semua tetangga disapanya. tapi pagi itu aku terlalu pulas untuk melihat cerianya. ku dengar cerita temannya, di sepanjang jalan di sepeda motor mulutnya terus saja mengoceh sambil tertawa membicarakan mimpi-mimpinya. dimana tak pernah sebelumnya ia begitu sumringah. kata tetanggaku juga pagi itu di sepanjang perjalanan di sepeda motor ia memeluk temannya itu erat-erat. dimana itu tak pernah terjadi sekalipun. lantas apa Tuhan hendak berkata?
siang itu tubuhnya ambruk di sebelah tangga yang kala itu sedang ia renovasi. lemas terkulai.untunglah si bos sedang berada disana. larilah mereka ke Persahabatan yang bagiku tak asing sebagi sebuah rumah sakit. kabar yang kuterima lewat telfon kala itu berhasil membuatku gemetar. "Tak pernah ia sakit!" batinku tak percaya. bahkan sore itu ia masih bugar bermain volleey di lapangan RT. sekalipun wa'allahi aku tak pernah mendegarnya mengeluh sakit. "Ibuu, tuan ini agaknya mengalami pecah pembuluh darah otak kiri, kesempatan untuk sadar sudah sangat tipis sekali." terang dokter percaya diri sekali. dan ibuku meminta untuk mengerahkan usaha medis apapun untuk membuatnya kembali sehat lagi.
Ohh,,sungguh malam itu tubuhku gemetar. ingin rasanya aku lari sekencang-kencangnya ke rumah sakit dan melihat kondisinya. apa daya malam telah larut dan pagi menjelang. tak ada yg bisa kulakukan saat itu.hanya sujudku yang panjang ditengah malam yang kupanjat memohon segala yg terbaik utnuknya.
Pagi. Ia pergi. tanpa pesan. tanpa petuah. tanpa senyum manis ataupun tangis mengiringi. Percayakah aku atas semua ini. Masih belum. Hingga jenazah seukuran orang dewasa masuk kedalam rumahku bersamaan dengan mereka pemanggulnya. Aura kala itu tak asing lagi. Pernah kualami.belum genap dua tahun ini. Berbaring di lantai yang sama dengan orang-orang yang kurang lebih sama. Banyak yang menangis. Banyak juga yang memerah tegar. “Almarhum Muhamad Yoni bin Abdul Djalil” begitu yang terpampang di selembar kertas putih dekat jenazzah. Kucoba tuk lebih dekat dengan sosok itu, kuputuskan untuk meraihnya. Mencoba menyibak kain yang menutupi wajahnya. “Innalilahi wa’inna illaihi raji’un.” Air mata kala itu mengucur derasnya membasahi kerudung abu-abu yang kukenakan waktu itu. Tapi tak sebodoh itu kuharap ia kembali. Aku ikhlas. Pasti. Meski miris mengamati kisah hidupnya yang perih. Tapi bangga karena akhirnya ia insya Allah suci.
Yah.. tak kan ada lagi tawa jenaka si petani bayam itu. Tak kan ada lagi panggilan merdu adzan darinya itu. Juga tak kan ada lagi ketukan kaca jendela subuh hari kejahilannya itu. Sosok bersahajanya itu kini diingat semua orang. Semua rindu. Semua mendo’akan. Tidak sedikit yang menyayangkan. Pun bahkan mencibir kejam. Tapi apapun yang lalu, ia kini telah sampai pada waktunya. Kamipun kelak menyusulnya. Hanya bagi kami do’a lah yang mampu menemaninya. Selamat jalan Pamanku… semoga para malaikat bahagia menyambutmu. Amin ya Rabb…
Sebuah dedikasi untuk Paman kami tersayang (Alm. Muhamad Yoni bin Abdul Djalil)
September 2011
----Siti Aisyah----
Maklumlah, pengangguran tingkat tinggi. Pernah punya beberapa profesi, namun tak satu pun yang tetap mengaliri pundi. Masa jayanya dahulu mungkin terlalu manis mengukir. terlalu sulit untuk ku tepis bahwa dahulu ia memang hidup lebih. lebih tak terarah tepatnya. lebih kelam hitamnya. lebih jauh dari-Nya. lebih kepada dunia yang menduniawi. Asal tahu saja, bisa jadi dulu ia jawara.
tapi tidak untuk saat ini. tidak. maksudku tidak seperti saat aku memandangnya waktu sedang berladang dikebun. Tangan kekarnya luwes menanam benih-benih bayam organik yang lezatnya bukan main. Kakinya yang keras bak beton karet kuat menopang 2 panggul drum air untuk mengairi tumbuhannya. mungkin banyak yang bertanya curiga mencaci "Kemana muka hitam belang yang dulu main kejar-kejaran dengan perempuan?" kini tak ada lagi. jawara jadi santri. ialah dia Paman. bertekuk mukanya saat hadap dengan perempuan. Tangan lincahnya yang dulu mahir meracik brandy, kini jadi kalam yang rajin menjinjing Qur'an. Langkahnya yang seribu selalu untuk Masjid. rumah dari segala rumah yang ia tempati. Lalu tiap-tiap waktu shalat tepat, merdu suaranya terdengar temaram dari Masjid. ia seorang Mu'adzin tepatnya.
Ia tinggal bersama kami. bersama kakaknya yg nomor dua. Ayah kami tepatnya. seringkali ia coba balik ke ranah lahirnya, tapi kemudian kembali untuk tinggal lagi bersama kami. "Hanya kak didi yang bisa menjadi tempat saya mengikuti jejak,Mbak." kira-kira itu sepenggal kalimat yg kudengar saat ia bercengkrama dengan Ibuku. Sebegitu hormatnya ia terhadap kakaknya itu. bahkan untuk makan didepannya saja ia malu. sungguh Adik sekali dia itu...
"yeem bayyeemmmm!!!" begitu teriaknya pada tetangga sekitar saat ia berhasil panen bayamnya itu. ia letakkan satu nampan bayam yg sudah diikat kecil-kecil dan meletakkannya saja begitu didepan kebun.. tetangga yang ingin membeli tinggal ambil satu, atau dua atau semaunya. harga tidak pernah ia sebutkan. benaknya mungkin: dikasih lebih Alhamdulilah, kalau cukup ya Alhamdulilah. kurang pun tak apa-apa. toh apa yang dilakukan Lilahita'ala... tapi Alhamdulilah selalu berkah. Bayam selalu subur. juga rupa-rupa lainnya seperti singkong dan timun.. tanah lapang adalah surga baginya kini. tak lagi. kehidupan malam kota jakarta itu. semua sirna...
tapi bosan juga ia hanya numpang-numpang saja dirumah kakaknya itu. pergilah ia ke daerah Karawang untuk berladang dengan hektaran ladang perkebunan milik temannya. ada domba, bebek, ayam juga disana. pergi juga ia.. tapi tak sampai 5 bulan ia disana. "Tak ada Masjid disana." katanya. sebegitu rimba nya tempat ia bernaung dulu. akhirnya kembalilah bersama kami. dengan rutinitas yang sama. tapi semenjak kakaknya yakni Ayahku mangkat ke pangkuan-Nya, ia pisah rumah dari kami. lantaran tak ingin terjadi fitnah karena status Ibuku yang menjanda. tapi tetap cukup dekat untuk kami tetap bersua setiap hari.
Ia bekerja kini. serabutan dengan pemborong temannya. apapun kini ia lakukan asal halal. karena tak ingin hidupnya bergantung selalu pada ranting yg tak kuat menopangnya.
Setiap pagi sebelum subuh ia selalu segar dan sudah dalam keadaan bersuci. saat hendak berangkat ke Masjid tak lupa ia berhenti didepan jendela kamarku dan mengetuknya jahil " neek, subuh nek, solat solat." selalu begitu. "Yooooo.." begitu saja jawabku untuk memberitahunya bahwa aku terjaga.tak berapa lama kudengarlah suaranya itu lewat lorong-lorong Masjid. Merdu. bahkan kadang aku tak menyadari bahwa itu suaranya.
Suatu pagi ia hendak berangkat kerja bersama temannya mengendarai sepeda motor hitam tua. pagi itu ceria sekali wajahnya. semua tetangga disapanya. tapi pagi itu aku terlalu pulas untuk melihat cerianya. ku dengar cerita temannya, di sepanjang jalan di sepeda motor mulutnya terus saja mengoceh sambil tertawa membicarakan mimpi-mimpinya. dimana tak pernah sebelumnya ia begitu sumringah. kata tetanggaku juga pagi itu di sepanjang perjalanan di sepeda motor ia memeluk temannya itu erat-erat. dimana itu tak pernah terjadi sekalipun. lantas apa Tuhan hendak berkata?
siang itu tubuhnya ambruk di sebelah tangga yang kala itu sedang ia renovasi. lemas terkulai.untunglah si bos sedang berada disana. larilah mereka ke Persahabatan yang bagiku tak asing sebagi sebuah rumah sakit. kabar yang kuterima lewat telfon kala itu berhasil membuatku gemetar. "Tak pernah ia sakit!" batinku tak percaya. bahkan sore itu ia masih bugar bermain volleey di lapangan RT. sekalipun wa'allahi aku tak pernah mendegarnya mengeluh sakit. "Ibuu, tuan ini agaknya mengalami pecah pembuluh darah otak kiri, kesempatan untuk sadar sudah sangat tipis sekali." terang dokter percaya diri sekali. dan ibuku meminta untuk mengerahkan usaha medis apapun untuk membuatnya kembali sehat lagi.
Ohh,,sungguh malam itu tubuhku gemetar. ingin rasanya aku lari sekencang-kencangnya ke rumah sakit dan melihat kondisinya. apa daya malam telah larut dan pagi menjelang. tak ada yg bisa kulakukan saat itu.hanya sujudku yang panjang ditengah malam yang kupanjat memohon segala yg terbaik utnuknya.
Pagi. Ia pergi. tanpa pesan. tanpa petuah. tanpa senyum manis ataupun tangis mengiringi. Percayakah aku atas semua ini. Masih belum. Hingga jenazah seukuran orang dewasa masuk kedalam rumahku bersamaan dengan mereka pemanggulnya. Aura kala itu tak asing lagi. Pernah kualami.belum genap dua tahun ini. Berbaring di lantai yang sama dengan orang-orang yang kurang lebih sama. Banyak yang menangis. Banyak juga yang memerah tegar. “Almarhum Muhamad Yoni bin Abdul Djalil” begitu yang terpampang di selembar kertas putih dekat jenazzah. Kucoba tuk lebih dekat dengan sosok itu, kuputuskan untuk meraihnya. Mencoba menyibak kain yang menutupi wajahnya. “Innalilahi wa’inna illaihi raji’un.” Air mata kala itu mengucur derasnya membasahi kerudung abu-abu yang kukenakan waktu itu. Tapi tak sebodoh itu kuharap ia kembali. Aku ikhlas. Pasti. Meski miris mengamati kisah hidupnya yang perih. Tapi bangga karena akhirnya ia insya Allah suci.
Yah.. tak kan ada lagi tawa jenaka si petani bayam itu. Tak kan ada lagi panggilan merdu adzan darinya itu. Juga tak kan ada lagi ketukan kaca jendela subuh hari kejahilannya itu. Sosok bersahajanya itu kini diingat semua orang. Semua rindu. Semua mendo’akan. Tidak sedikit yang menyayangkan. Pun bahkan mencibir kejam. Tapi apapun yang lalu, ia kini telah sampai pada waktunya. Kamipun kelak menyusulnya. Hanya bagi kami do’a lah yang mampu menemaninya. Selamat jalan Pamanku… semoga para malaikat bahagia menyambutmu. Amin ya Rabb…
Sebuah dedikasi untuk Paman kami tersayang (Alm. Muhamad Yoni bin Abdul Djalil)
September 2011
----Siti Aisyah----
Gila
Puisi, tiada arti sajakku berelevansi
Diatas dingin penjagaan lahirmu yang beramunisi..
Lantas tembakan apa kali ini yang kan lukai hati?
Seperih ini? sedalam ini?
Runduk kau bawa aku dalam mahir bergerutu.
Jua simpuhanku kau nilai sebagai sembilu.
Gila kau bakar aku dengan api matamu!
Atau buang aku kedalam najis dan aib jelagamu.
Mata yang menyeringai tak berdasar.
Saat ku mulai berkecamuk dengan kata-kata kasar.
Dan jadikanmu terbakar, meradar, berkoar, dan tak sadar
Masih kah kau siksa sukma mu yang lapar??
Lapar akan kehinadinaan sucinya cinta
Yang memang kan membuatmu terkesima lupa
Namun tak kan ia buatmu siksa
Karena ia sejatinya rasa. rasa yang beri tawa. bahagia.
Titah Tuhan beri kita takdir
Tapi bukan takdir yang terukir
Masih sempat kita bawa ia ke hilir
Sebelum jadi api disiram air. Berakhir.
Hangus, dalam bosannya waktu penderitaan.
Kau terlampau panas saat ku bilang aku SETAN.
Lalu jahanamkan aku yang bermainkan rotan.
Dan rusuk patah jadi saksi yang terlupakan.
----Siti Aisyah-----
September 2011
Diatas dingin penjagaan lahirmu yang beramunisi..
Lantas tembakan apa kali ini yang kan lukai hati?
Seperih ini? sedalam ini?
Runduk kau bawa aku dalam mahir bergerutu.
Jua simpuhanku kau nilai sebagai sembilu.
Gila kau bakar aku dengan api matamu!
Atau buang aku kedalam najis dan aib jelagamu.
Mata yang menyeringai tak berdasar.
Saat ku mulai berkecamuk dengan kata-kata kasar.
Dan jadikanmu terbakar, meradar, berkoar, dan tak sadar
Masih kah kau siksa sukma mu yang lapar??
Lapar akan kehinadinaan sucinya cinta
Yang memang kan membuatmu terkesima lupa
Namun tak kan ia buatmu siksa
Karena ia sejatinya rasa. rasa yang beri tawa. bahagia.
Titah Tuhan beri kita takdir
Tapi bukan takdir yang terukir
Masih sempat kita bawa ia ke hilir
Sebelum jadi api disiram air. Berakhir.
Hangus, dalam bosannya waktu penderitaan.
Kau terlampau panas saat ku bilang aku SETAN.
Lalu jahanamkan aku yang bermainkan rotan.
Dan rusuk patah jadi saksi yang terlupakan.
----Siti Aisyah-----
September 2011
Langganan:
Postingan (Atom)