Teringat akan sosok lucu nan kocak lagi murah senyum "Paman Iyon." yah, paman, pastilah saudara lebih muda dari Ayah kandung. Memandangnya saat ia berkebun diladang membuatku tak ibanya berfikir : "ahh pamanku ini, tua tapi tidak keladi, tua tapi tidak renta, tua tapi tidak bersedih. Pun saat hidupnya tertakdir untuk sendiri." Ya, paman hanyalah sendiri tanpa istri. bukan karena ia tak laku ataupun tak mau. Tapi mungkin Allah berkehendak seperti itu. Mungkin karena Allah tahu bahwa hidupnya jauh lebih baik begitu. bukan Paman tak mencoba memperistri. tapi lagi gagal karena batasan materi. bukan pula ia letih mencari. tapi lagi sulit hilir mudik menghampiri.
Maklumlah, pengangguran tingkat tinggi. Pernah punya beberapa profesi, namun tak satu pun yang tetap mengaliri pundi. Masa jayanya dahulu mungkin terlalu manis mengukir. terlalu sulit untuk ku tepis bahwa dahulu ia memang hidup lebih. lebih tak terarah tepatnya. lebih kelam hitamnya. lebih jauh dari-Nya. lebih kepada dunia yang menduniawi. Asal tahu saja, bisa jadi dulu ia jawara.
tapi tidak untuk saat ini. tidak. maksudku tidak seperti saat aku memandangnya waktu sedang berladang dikebun. Tangan kekarnya luwes menanam benih-benih bayam organik yang lezatnya bukan main. Kakinya yang keras bak beton karet kuat menopang 2 panggul drum air untuk mengairi tumbuhannya. mungkin banyak yang bertanya curiga mencaci "Kemana muka hitam belang yang dulu main kejar-kejaran dengan perempuan?" kini tak ada lagi. jawara jadi santri. ialah dia Paman. bertekuk mukanya saat hadap dengan perempuan. Tangan lincahnya yang dulu mahir meracik brandy, kini jadi kalam yang rajin menjinjing Qur'an. Langkahnya yang seribu selalu untuk Masjid. rumah dari segala rumah yang ia tempati. Lalu tiap-tiap waktu shalat tepat, merdu suaranya terdengar temaram dari Masjid. ia seorang Mu'adzin tepatnya.
Ia tinggal bersama kami. bersama kakaknya yg nomor dua. Ayah kami tepatnya. seringkali ia coba balik ke ranah lahirnya, tapi kemudian kembali untuk tinggal lagi bersama kami. "Hanya kak didi yang bisa menjadi tempat saya mengikuti jejak,Mbak." kira-kira itu sepenggal kalimat yg kudengar saat ia bercengkrama dengan Ibuku. Sebegitu hormatnya ia terhadap kakaknya itu. bahkan untuk makan didepannya saja ia malu. sungguh Adik sekali dia itu...
"yeem bayyeemmmm!!!" begitu teriaknya pada tetangga sekitar saat ia berhasil panen bayamnya itu. ia letakkan satu nampan bayam yg sudah diikat kecil-kecil dan meletakkannya saja begitu didepan kebun.. tetangga yang ingin membeli tinggal ambil satu, atau dua atau semaunya. harga tidak pernah ia sebutkan. benaknya mungkin: dikasih lebih Alhamdulilah, kalau cukup ya Alhamdulilah. kurang pun tak apa-apa. toh apa yang dilakukan Lilahita'ala... tapi Alhamdulilah selalu berkah. Bayam selalu subur. juga rupa-rupa lainnya seperti singkong dan timun.. tanah lapang adalah surga baginya kini. tak lagi. kehidupan malam kota jakarta itu. semua sirna...
tapi bosan juga ia hanya numpang-numpang saja dirumah kakaknya itu. pergilah ia ke daerah Karawang untuk berladang dengan hektaran ladang perkebunan milik temannya. ada domba, bebek, ayam juga disana. pergi juga ia.. tapi tak sampai 5 bulan ia disana. "Tak ada Masjid disana." katanya. sebegitu rimba nya tempat ia bernaung dulu. akhirnya kembalilah bersama kami. dengan rutinitas yang sama. tapi semenjak kakaknya yakni Ayahku mangkat ke pangkuan-Nya, ia pisah rumah dari kami. lantaran tak ingin terjadi fitnah karena status Ibuku yang menjanda. tapi tetap cukup dekat untuk kami tetap bersua setiap hari.
Ia bekerja kini. serabutan dengan pemborong temannya. apapun kini ia lakukan asal halal. karena tak ingin hidupnya bergantung selalu pada ranting yg tak kuat menopangnya.
Setiap pagi sebelum subuh ia selalu segar dan sudah dalam keadaan bersuci. saat hendak berangkat ke Masjid tak lupa ia berhenti didepan jendela kamarku dan mengetuknya jahil " neek, subuh nek, solat solat." selalu begitu. "Yooooo.." begitu saja jawabku untuk memberitahunya bahwa aku terjaga.tak berapa lama kudengarlah suaranya itu lewat lorong-lorong Masjid. Merdu. bahkan kadang aku tak menyadari bahwa itu suaranya.
Suatu pagi ia hendak berangkat kerja bersama temannya mengendarai sepeda motor hitam tua. pagi itu ceria sekali wajahnya. semua tetangga disapanya. tapi pagi itu aku terlalu pulas untuk melihat cerianya. ku dengar cerita temannya, di sepanjang jalan di sepeda motor mulutnya terus saja mengoceh sambil tertawa membicarakan mimpi-mimpinya. dimana tak pernah sebelumnya ia begitu sumringah. kata tetanggaku juga pagi itu di sepanjang perjalanan di sepeda motor ia memeluk temannya itu erat-erat. dimana itu tak pernah terjadi sekalipun. lantas apa Tuhan hendak berkata?
siang itu tubuhnya ambruk di sebelah tangga yang kala itu sedang ia renovasi. lemas terkulai.untunglah si bos sedang berada disana. larilah mereka ke Persahabatan yang bagiku tak asing sebagi sebuah rumah sakit. kabar yang kuterima lewat telfon kala itu berhasil membuatku gemetar. "Tak pernah ia sakit!" batinku tak percaya. bahkan sore itu ia masih bugar bermain volleey di lapangan RT. sekalipun wa'allahi aku tak pernah mendegarnya mengeluh sakit. "Ibuu, tuan ini agaknya mengalami pecah pembuluh darah otak kiri, kesempatan untuk sadar sudah sangat tipis sekali." terang dokter percaya diri sekali. dan ibuku meminta untuk mengerahkan usaha medis apapun untuk membuatnya kembali sehat lagi.
Ohh,,sungguh malam itu tubuhku gemetar. ingin rasanya aku lari sekencang-kencangnya ke rumah sakit dan melihat kondisinya. apa daya malam telah larut dan pagi menjelang. tak ada yg bisa kulakukan saat itu.hanya sujudku yang panjang ditengah malam yang kupanjat memohon segala yg terbaik utnuknya.
Pagi. Ia pergi. tanpa pesan. tanpa petuah. tanpa senyum manis ataupun tangis mengiringi. Percayakah aku atas semua ini. Masih belum. Hingga jenazah seukuran orang dewasa masuk kedalam rumahku bersamaan dengan mereka pemanggulnya. Aura kala itu tak asing lagi. Pernah kualami.belum genap dua tahun ini. Berbaring di lantai yang sama dengan orang-orang yang kurang lebih sama. Banyak yang menangis. Banyak juga yang memerah tegar. “Almarhum Muhamad Yoni bin Abdul Djalil” begitu yang terpampang di selembar kertas putih dekat jenazzah. Kucoba tuk lebih dekat dengan sosok itu, kuputuskan untuk meraihnya. Mencoba menyibak kain yang menutupi wajahnya. “Innalilahi wa’inna illaihi raji’un.” Air mata kala itu mengucur derasnya membasahi kerudung abu-abu yang kukenakan waktu itu. Tapi tak sebodoh itu kuharap ia kembali. Aku ikhlas. Pasti. Meski miris mengamati kisah hidupnya yang perih. Tapi bangga karena akhirnya ia insya Allah suci.
Yah.. tak kan ada lagi tawa jenaka si petani bayam itu. Tak kan ada lagi panggilan merdu adzan darinya itu. Juga tak kan ada lagi ketukan kaca jendela subuh hari kejahilannya itu. Sosok bersahajanya itu kini diingat semua orang. Semua rindu. Semua mendo’akan. Tidak sedikit yang menyayangkan. Pun bahkan mencibir kejam. Tapi apapun yang lalu, ia kini telah sampai pada waktunya. Kamipun kelak menyusulnya. Hanya bagi kami do’a lah yang mampu menemaninya. Selamat jalan Pamanku… semoga para malaikat bahagia menyambutmu. Amin ya Rabb…
Sebuah dedikasi untuk Paman kami tersayang (Alm. Muhamad Yoni bin Abdul Djalil)
September 2011
----Siti Aisyah----
Maklumlah, pengangguran tingkat tinggi. Pernah punya beberapa profesi, namun tak satu pun yang tetap mengaliri pundi. Masa jayanya dahulu mungkin terlalu manis mengukir. terlalu sulit untuk ku tepis bahwa dahulu ia memang hidup lebih. lebih tak terarah tepatnya. lebih kelam hitamnya. lebih jauh dari-Nya. lebih kepada dunia yang menduniawi. Asal tahu saja, bisa jadi dulu ia jawara.
tapi tidak untuk saat ini. tidak. maksudku tidak seperti saat aku memandangnya waktu sedang berladang dikebun. Tangan kekarnya luwes menanam benih-benih bayam organik yang lezatnya bukan main. Kakinya yang keras bak beton karet kuat menopang 2 panggul drum air untuk mengairi tumbuhannya. mungkin banyak yang bertanya curiga mencaci "Kemana muka hitam belang yang dulu main kejar-kejaran dengan perempuan?" kini tak ada lagi. jawara jadi santri. ialah dia Paman. bertekuk mukanya saat hadap dengan perempuan. Tangan lincahnya yang dulu mahir meracik brandy, kini jadi kalam yang rajin menjinjing Qur'an. Langkahnya yang seribu selalu untuk Masjid. rumah dari segala rumah yang ia tempati. Lalu tiap-tiap waktu shalat tepat, merdu suaranya terdengar temaram dari Masjid. ia seorang Mu'adzin tepatnya.
Ia tinggal bersama kami. bersama kakaknya yg nomor dua. Ayah kami tepatnya. seringkali ia coba balik ke ranah lahirnya, tapi kemudian kembali untuk tinggal lagi bersama kami. "Hanya kak didi yang bisa menjadi tempat saya mengikuti jejak,Mbak." kira-kira itu sepenggal kalimat yg kudengar saat ia bercengkrama dengan Ibuku. Sebegitu hormatnya ia terhadap kakaknya itu. bahkan untuk makan didepannya saja ia malu. sungguh Adik sekali dia itu...
"yeem bayyeemmmm!!!" begitu teriaknya pada tetangga sekitar saat ia berhasil panen bayamnya itu. ia letakkan satu nampan bayam yg sudah diikat kecil-kecil dan meletakkannya saja begitu didepan kebun.. tetangga yang ingin membeli tinggal ambil satu, atau dua atau semaunya. harga tidak pernah ia sebutkan. benaknya mungkin: dikasih lebih Alhamdulilah, kalau cukup ya Alhamdulilah. kurang pun tak apa-apa. toh apa yang dilakukan Lilahita'ala... tapi Alhamdulilah selalu berkah. Bayam selalu subur. juga rupa-rupa lainnya seperti singkong dan timun.. tanah lapang adalah surga baginya kini. tak lagi. kehidupan malam kota jakarta itu. semua sirna...
tapi bosan juga ia hanya numpang-numpang saja dirumah kakaknya itu. pergilah ia ke daerah Karawang untuk berladang dengan hektaran ladang perkebunan milik temannya. ada domba, bebek, ayam juga disana. pergi juga ia.. tapi tak sampai 5 bulan ia disana. "Tak ada Masjid disana." katanya. sebegitu rimba nya tempat ia bernaung dulu. akhirnya kembalilah bersama kami. dengan rutinitas yang sama. tapi semenjak kakaknya yakni Ayahku mangkat ke pangkuan-Nya, ia pisah rumah dari kami. lantaran tak ingin terjadi fitnah karena status Ibuku yang menjanda. tapi tetap cukup dekat untuk kami tetap bersua setiap hari.
Ia bekerja kini. serabutan dengan pemborong temannya. apapun kini ia lakukan asal halal. karena tak ingin hidupnya bergantung selalu pada ranting yg tak kuat menopangnya.
Setiap pagi sebelum subuh ia selalu segar dan sudah dalam keadaan bersuci. saat hendak berangkat ke Masjid tak lupa ia berhenti didepan jendela kamarku dan mengetuknya jahil " neek, subuh nek, solat solat." selalu begitu. "Yooooo.." begitu saja jawabku untuk memberitahunya bahwa aku terjaga.tak berapa lama kudengarlah suaranya itu lewat lorong-lorong Masjid. Merdu. bahkan kadang aku tak menyadari bahwa itu suaranya.
Suatu pagi ia hendak berangkat kerja bersama temannya mengendarai sepeda motor hitam tua. pagi itu ceria sekali wajahnya. semua tetangga disapanya. tapi pagi itu aku terlalu pulas untuk melihat cerianya. ku dengar cerita temannya, di sepanjang jalan di sepeda motor mulutnya terus saja mengoceh sambil tertawa membicarakan mimpi-mimpinya. dimana tak pernah sebelumnya ia begitu sumringah. kata tetanggaku juga pagi itu di sepanjang perjalanan di sepeda motor ia memeluk temannya itu erat-erat. dimana itu tak pernah terjadi sekalipun. lantas apa Tuhan hendak berkata?
siang itu tubuhnya ambruk di sebelah tangga yang kala itu sedang ia renovasi. lemas terkulai.untunglah si bos sedang berada disana. larilah mereka ke Persahabatan yang bagiku tak asing sebagi sebuah rumah sakit. kabar yang kuterima lewat telfon kala itu berhasil membuatku gemetar. "Tak pernah ia sakit!" batinku tak percaya. bahkan sore itu ia masih bugar bermain volleey di lapangan RT. sekalipun wa'allahi aku tak pernah mendegarnya mengeluh sakit. "Ibuu, tuan ini agaknya mengalami pecah pembuluh darah otak kiri, kesempatan untuk sadar sudah sangat tipis sekali." terang dokter percaya diri sekali. dan ibuku meminta untuk mengerahkan usaha medis apapun untuk membuatnya kembali sehat lagi.
Ohh,,sungguh malam itu tubuhku gemetar. ingin rasanya aku lari sekencang-kencangnya ke rumah sakit dan melihat kondisinya. apa daya malam telah larut dan pagi menjelang. tak ada yg bisa kulakukan saat itu.hanya sujudku yang panjang ditengah malam yang kupanjat memohon segala yg terbaik utnuknya.
Pagi. Ia pergi. tanpa pesan. tanpa petuah. tanpa senyum manis ataupun tangis mengiringi. Percayakah aku atas semua ini. Masih belum. Hingga jenazah seukuran orang dewasa masuk kedalam rumahku bersamaan dengan mereka pemanggulnya. Aura kala itu tak asing lagi. Pernah kualami.belum genap dua tahun ini. Berbaring di lantai yang sama dengan orang-orang yang kurang lebih sama. Banyak yang menangis. Banyak juga yang memerah tegar. “Almarhum Muhamad Yoni bin Abdul Djalil” begitu yang terpampang di selembar kertas putih dekat jenazzah. Kucoba tuk lebih dekat dengan sosok itu, kuputuskan untuk meraihnya. Mencoba menyibak kain yang menutupi wajahnya. “Innalilahi wa’inna illaihi raji’un.” Air mata kala itu mengucur derasnya membasahi kerudung abu-abu yang kukenakan waktu itu. Tapi tak sebodoh itu kuharap ia kembali. Aku ikhlas. Pasti. Meski miris mengamati kisah hidupnya yang perih. Tapi bangga karena akhirnya ia insya Allah suci.
Yah.. tak kan ada lagi tawa jenaka si petani bayam itu. Tak kan ada lagi panggilan merdu adzan darinya itu. Juga tak kan ada lagi ketukan kaca jendela subuh hari kejahilannya itu. Sosok bersahajanya itu kini diingat semua orang. Semua rindu. Semua mendo’akan. Tidak sedikit yang menyayangkan. Pun bahkan mencibir kejam. Tapi apapun yang lalu, ia kini telah sampai pada waktunya. Kamipun kelak menyusulnya. Hanya bagi kami do’a lah yang mampu menemaninya. Selamat jalan Pamanku… semoga para malaikat bahagia menyambutmu. Amin ya Rabb…
Sebuah dedikasi untuk Paman kami tersayang (Alm. Muhamad Yoni bin Abdul Djalil)
September 2011
----Siti Aisyah----
Tidak ada komentar:
Posting Komentar